BAB I
PENDAHULUAN
Daging adalah salah satu pangan asal hewan yang mengandung zat gizi yang sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan manusia, serta sangat baik sebagai media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim yang dapat mengurai/memecah beberapa komponen gizi (protein, lemak) yang akhirnya menyebabkan pembusukan daging. Oleh sebab itu, daging dikategorikan sebagai pangan yang mudah rusak (perishable food).
Salah satu tahap yang sangat menentukan kualitas dan keamanan daging dalam mata rantai penyediaan daging adalah tahap di rumah pemotongan hewan (RPH). Di RPH ini hewan disembelih dan terjadi perubahan (konversi) dari otot (hewan hidup) ke daging, serta dapat terjadi pencemaran mikroorganisme terhadap daging, terutama pada tahap eviserasi (pengeluaran jeroan). Penanganan hewan dan daging di RPH yang kurang baik dan tidak higienis akan berdampak terhadap kehalalan, mutu dan keamanan daging yang dihasilkan. Oleh sebab itu, penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan di RPH sangatlah penting, atau dapat dikatakan pula sebagai penerapan sistem produk safety pada RPH. Aspek yang perlu diperhatikan dalam sistem tersebut adalah higiene, sanitasi, kehalalan, dan kesejahteraan hewan.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Dilihat dari mata rantai penyediaan daging di Indonesia, maka salah satu tahapan terpenting adalah penyembelihan hewan di RPH. Rumah pemotongan hewan (RPH) adalah kompleks bangunan dengan disain dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratatn teknis dan higiene tertentu, yang digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi masyarakat. Peraturan perundangan yang berkaitan persyaratan RPH di Indonesia telah diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 555/Kpts/TN.240/9/1986 tentang Syarat-Syarat Rumah Pemotongan Hewan dan Usaha Pemotongan.
Rumah Potong Hewan adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan disain tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan selain unggas bagi konsumsi masyarakat luas (Manual Kesmavet, 1993).
A. Bangunan RPH
Desain dan tata ruang akan membicarakan permasalahan kompleks Rumah Potong Hewan yang meliputi bangunan dan perlengkapannya beserta denah dari berbagai tipe RPH. Pembahasan ini banyak diambil dari pendapat Lestari (1993).
Produk peternakan asal hewan mempunyai sifat mudah rusak dan dapat bertindak sebagai sumber penularan penyakit dari hewan ke manusia. Untuk itu dalam merancang tata ruang RPH perlu diperhatikan untuk menghasilkan daging yang sehat dan tidak membahayakan manusia bila dikonsumsi sehingga harus memenuhi persyaratan kesehatan veteriner (Koswara, 1988).
2Tata ruang RPH yang baik dan berkualitas biasanya dirancang berdasarkan desain yang baik dan berada di lokasi yang tepat untuk memenuhi keperluan jangka pendek maupun jangka panjang dan menjamin fungsinya secara normal. Secara garis besar dari berbagai syarat bangunan dan perlengkapan yang diperlukan, maka RPH dapat diterjemahkan dalam tata ruang sesuai dengan tipenya seperti pada gambar 2 sampai 5 (Lestari, 1993).
Perancangan bangun RPH berkualitas sebaiknya sesuai dengan standar yang telah ditentukan dan sebaiknya sesuai dengan Instalasi Standar Internasional dan menjamin produk sehat dan halal. RPH dengan standar internasional biasanya dilengkapi dengan peralatan moderen dan canggih, rapi bersih dan sistematis, menunjang perkembangan ruangan dan modular sistem. Produk sehat dan halal dapat dijamin dengan RPH yang memiliki sarana untuk pemeriksaan kesehatan hewan potong, memiliki sarana menjaga kebersihan, dan mematuhi kode etik dan tata cara pemotongan hewan secara tepat. Selain itu juga harus bersahabat dengan alam, yaitu lokasi sebaiknya di luar kota dan jauh dari pemukiman dan memiliki saluran pembuangan dan pengolahan limbah yang sesuai dengan AMDAL (Lestari, 1993).
Gambar 1. Tata ruang RPH tipe A (Lestari, 1994)
Keterangan:
1. Gang masuk sapi satu persatu.
2. Tempat sembelih.
3. Ruang proses jeroan.
4. Ruang pengolahan kulit.
5. Ruang laboratorium.
6. KM/WC.
7. Kantor.
8. Ruang cold storage.
9. Gang masuk sapi satu persatu.
10. Tempat sembelih.
11. Ruang proses jeroan.
12. Ruang pengolahan kulit.
13. Ruang laboratorium.
14. KM/WC.
15. Kantor.
16. Ruang cold storage.
Gambar 2. Tata ruang RPH tipe B (Lestari, 1994)
Keterangan:
1. Gang masuk sapi satu persatu.
2. Tempat sembelih.
3. Pisah kepala, kaki, kulit , jeroan.
4. Gantungan potong karkas.
5. Periksa daging.
6. Penimbangan.
Gambar 3. Tata ruang RPH tipe C (Lestari, 1994)
Keterangan:
1. Gang masuk sapi satu persatu.
2. Tempat sembelih.
3. Pisah kulit, kepala, kaki, jeroan.
4. Gantungan potong karkas.
5. Pemisahan daging.
6. Penimbangan.
7. Ruang jeroan.
8. Ruang kepala, kulit, kaki.
9. Ruang penirisan.
10. Kantor.
Gambar 4. Tata ruang RPH tipe D (Lestari, 1994)
Keterangan:
1. Gang masuk sapi satu persatu.
2. Tempat sembelih.
3. Pisah kulit, kepala, kaki, jeroan.
4. Gantungan potong karkas.
5. Pemisahan daging.
6. Penimbangan.
7. Ruang jeroan.
8. Ruang kepala, kulit, kaki.
9. Kantor.
B. SNI RPH
RPH, di samping sebagai sarana produksi daging juga berfungsi sebagai instansi pelayanan masyarakat yaitu untuk menghasilkan komoditas daging yang sehat, aman dan halal (sah). Umumnya RPH merupakan instansi Pemerintah. Namun perusahaan swasta diizinkan mengoperasikan RPH khusus untuk kepentingan perusahaannya, asalkan memenuhi persyaratan teknis yang diperlukan dan sesuai dengan peraturan Pemerintah yang berlaku. Pembangunan RPH harus memenuhi ketentuan atau standar lokasi, bangunan, sarana dan fasilitas teknis, sanitasi dan higiene, serta ketentuan lain yang berlaku. Sanitasi dan higiene menjadi persyaratan vital dalam bangunan, pengelolaan dan operasi RPH.
Beberapa persyaratan RPH secara umum adalah Merupakan tempat atau bangunan khusus untuk pemotongan hewan yang dilengkapi dengan atap, lantai dan dinding, memiliki tempat atau kandang untuk menampung hewan untuk diistirahatkan dan dilakukan pemeriksaan ante mortem sebelum pemotongan. Syarat penting lainnya memiliki persediaan air bersih yang cukup, cahaya yang cukup, meja atau alat penggantung daging agar daging tidak bersentuhan dengan lantai. Untuk menampung limbah hasil pemotongan diperlukan saluran pembuangan yang cukup baik, sehingga lantai tidak digenangi air buangan atau air bekas cucian.
Acuan tentang Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dan tatacara pemotongan yang baik dan halal di Indonesia sampai saat ini adalah Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6159-1999 tentang Rumah Pemotongan Hewan berisi beberapa persyaratan yang berkaitan dengan RPH termasuk persyaratan lokasi, sarana, bangunan dan tata letak sehingga keberadaan RPH tidak menimbulkan ganguan berupa polusi udara dan limbah buangan yang dihasilkan tidak mengganggu masyarakat.
C. Teknik Pemotongan pada Sapi
1. Pengistirahatan Ternak
Ternak sebelum disembelih sebaiknya dipuasakan dahulu selama 12 sampai 24 jam. Ternak diistirahatkan mempunyai maksud agar ternak tidak stres, darah dapat keluar sebanyak mungkin dan cukup tersedia energi agar proses rigormortis berjalan sempurna (Soeparno, 1992). Pengistirahatan ternak penting karena ternak yang habis dipekerjakan jika langsung disembelih tanpa pengistirahatan akan menghasilkan daging yang berwarna gelap yang biasa disebut dark cutting meat, karena ternak mengalami stress (Beef Stress Syndrome), sehingga sekresi hormon adrenalin meningkat yang akan menggangu metabolisme glikogen pada otot (Smith et al., 1978).
Pengistirahatan ternak dapat dilaksanakan dengan pemuasaan atau tanpa pemuasaan. Pengistirahatan dengan pemuasaan mempunyai maksud untuk memperoleh berat tubuh kososng (BTK = bobot tubuh setelah dikurangi isi saluran pencernaan, isi kandung kencing dan isi saluran empedu) dan mempermudah proses penyembelihan bagi ternak agresif dan liar. Pengistirahatan tanpa pemuasaan bermaksud agar ketika disembelih darah dapat keluar sebanyak mungkin dan ternak tidak mengalami stress (Soeparno, 1992).
Pada saat ternak diistirahatkan juga dilaksanakan pemeriksaan sebelum penyembelihan (antemortem), yang meliputi kesehatan ternak, cidera atau tidaknya ternak dan bunting atau tidaknya ternak (Manual Kesmavet, 1992).
Pemeriksaan ante mortem adalah pemeriksaan yang dilakukan sebelum hewan disembelih. Petugas pemeriksaan antemortem adalah dokter hewan. Dokter hewan inilah yang berhak menentukan apakah hewan dapat dipotong atau tidak. Pemeriksaan antemortem adalah pemeriksaan hewan sebelum disembelih. Adapun tujuan pemeriksaan antemortem antara lain :
a. Memperoleh ternak yang cukup sehat.
b. Menghindari pemotongan hewan yang sakit/abnormal.
c. Mencegah atau meminimalkan kontaminasi pada alat, pegawai dan karkas.
d. Sebagai bahan informasi bagi pemeriksaan postmortem.
e. Mencegah penyebaran penyakit zoonosis.
f. Mengawasi penyakit tertentu sesuai dengan undang-undang.
(Anonim, 2009).
2. Prosessing Karkas Sapi
Setelah sapi lolos pada pemeriksaan pre-mortem oleh dokter hewan atau petugas yang ditunjuk, melalui proses regristasi dan dinyatakan memenuhi syarat, maka sapi dibawa masuk ke ruang persiapan penyembelihan untuk melalui prosesing penyembelihan (Manual Kesmavet, 1992).
a. Pemingsanan (Stunning)
Pemingsanan dilaksanakan dengan alasan untuk keamanan, menghilangkan rasa sakit sesedikit mungkin pada ternak (Blakely dan Bade, 1992), memudahkan pelaksanaan penyembelihan dan kualitas kulit dan karkas yang dihasilkan lebih baik (Soeparno, 1992).
Pemingsanan dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan alat pemingsan knocker, senjata pemingsan stunning gun, pembiusan dan arus listrik (Soeparno, 1992). Alat yang sering digunakan adalah captive bolt, yaitu suatu tongkat berbentuk silinder selongsong kosong yang mempunyai muatan eksplosif yang ditembakkan oleh suatu tekanan pada kepala sapi (Blakely dan Bade, 1992).
Alat pemingsan diarahkan pada bagian titik tengan tulang kening kepala sapi sedikit dia atas antara kedua kelopak mata, sehingga peluru diarahkan pada bagian otak. Peluru yang ditembakkan akan mengenai otak dengan kecepatan tinggi, sehingga sapi menjadi pingsan (Soeparno, 1992).
b. Penyembelihan
Penyembelihan hewan potong di Indonesia harus menggunakan metode secara Islam (Manual Kesmavet, 1992). Hewan yang disembelih harus memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan menurut syariah. Penyembelihan dilaksanakan dengan memotong mari’ (kerongkongan), hulqum (jalan pernapasan) dan dua urat darah pada leher (Nuhriawangsa, 1999).
Hewan yang telah pingsan diangkat pada bagian kaki belakang dan digantung (Blakely dan Bade, 1992). Pisau pemotongan diletakkan 45 derajat pada bagian brisket (Smith et al., 1978), dilakukan penyembelihan oleh modin dan dilakukan bleeding, yaitu menusukan pisau pada leher kearah jantung (Soeparno, 1992). Posisi ternak yang menggantung menyebabkan darah keluar dengan sempurna (Blakely dan Bade, 1992).
c. Pengulitan
Pengulitan dimulai setelah dilakukan pemotongan kepala dan ke empat bagian kaki bawah (Smith et al., 1978). Pengulitan bisa dilakukan di lantai, digantung dan menggunakan mesin (Soeparno, 1992).
Pengulitan diawali dengan membuat irisan panjang pada kulit sepanjang garis tengah dada dan bagian perut. Irisan dilanjutkan sepanjang permukaan dalam kaki, dan kulit dipisahkan mulai dari ventral ke arah punggung tubuh (Soeparno, 1992) dan diakhiri dengan pemotongan ekor (Smith et al., 1978).
d. Eviserasi
Menurut Smith et al. (1978) proses eviserasi bertujuan untuk mengeluarkan organ pencernaan (rumen, intestinum, hati, empedu) dan isi rongga dada (jantung, eshophagus, paru, trachea).
Tahap-tahap eviserasi menurut Soeparno (1992) dilaksanakan dengan urutan sebagai berikut:
1. Rongga dada dibuka dengan gergaji melalui ventral tengah tulang dada.
2. Rongga abdominal dibuka dengan membuat sayatan sepanjang ventral tengah abdominal.
3. Memisahkan penis atau jaringan ambing dan lemak abdominal.
4. Belah bonggol pelvic dan pisahkan kedua tulang pelvic.
5. Buat irisan sekitar anus dan tutup dengan kantung plastik.
6. Pisahkan eshophagus dari trakhea.
7. Keluarkan kandung kencing dan uterus jika ada.
8. Keluarkan organ perut yang terdiri dari intestinum, mesenterium, rumen dan bagian lain dari lambung serta hati dan empedu.
9. Diafragma dibuka dan keluarkan organ dada (pluck) yang terdiri dari jantung, paru-paru dan trakhea.
Organ ginjal tetap ditinggal di dalam badan dan menjadi bagian dari karkas. Eviserasi dilanjutkan dengan pemeriksaan organ dada (Smith et al., 1978), organ perut dan karkas untuk mengetahui apakah karkas diterima atau ditolak untuk dikonsumsi manusia (Blakely dan Bade, 1992).
e. Pembelahan
Pembelahan dilaksanakan dengan membagi karkas menjadi dua bagian sebelah kanan dan kiri dengan menggunakan gergaji tepat pada garis tengah punggung. Karkas dirapikan dengan melakukan pemotongan pada bagian-bagian yang kurang bermanfaat dan ditimbang untuk memperoleh berat karkas segar (Soeparno, 1992). Pemotongan dilaksanakan untuk menghilangkan sisa-sisa jaringan kulit, bekas memar, rambut dan sisa kotoran yang ada (Smith et al., 1978).
Karkas agar lebih baik kualitasnya, maka disemprot air dengan tekanan tinggi dan dilanjutkan dengan dicuci air hangat yang dicampur garam (Smith et al., 1978), dan dibungkus dengan kain putih untuk merapikan lemak subkutan (Soeparno, 1992).
f. Pendinginan
Karkas ditimbang diberi label dan disimpan pada suhu 28 sampai 32oF pada ruang pendingin agar dingin dengan berkurangnya panas tubuh dengan waktu 12 sampai 24 jam. Karkas kemudian dimasukan dalam ruang pendingin dengan suhu 32 sampai 34oF untuk penyimpanan berikutnya (Smith et al., 1978).
Pendinginan dilakukan pada suhu 2oC selama 24 jam untuk persiapan pemeriksaan kualitas karkas (grading). Karkas disayat pada posisi antara tulang rusuk ke-12 dan ke-13 untuk membuka loin eye, dan dilakukan penilaian untuk menentukan grade karkas.
3. Potongan pada Karkas Sapi
Menurut Soeparno (1992) potongan primal karkas sapi dari potongan setengah dibagi lagi mennjadi potongan seperempat, yang meliputi:
Potongan seperempat bagian depan yang terdiri dari bahu (chuck) termasuk leher, rusuk, paha depan, dada (breast) yang terbagi menjadi dua, yaitu dada depan (brisket) dan dada belakang (plate).
Bagian seperempat belakang yang terdiri dari paha (round), dan paha atas (rump), loin yang terdiri sirloin dan shortloin, flank beserta ginjal dan lemak yang menyeliputinya.
Pemisahan bagian karkas seperempat depan dan seperempat belakang dilakukan diantara rusuk 12 dan 13 (rusuk terakhir diikutkan pada seperempat belakang). Cara pemotongan primal karkas adalah sebagai berikut: hitung tujuh vertebral centra kearah depan (posisi karkas tergantung ke bawah), dari perhubungan sacralumbar. Potong tegak lurus vertebral column dengan gergaji. Pisahkan bagian seperempat depan dari seperempat belakang dengan pemotongan melalui otot-otot intercostals dan abdominal mengikuti bentuk melengkung dari rusuk ke-12. Pisahkan bagian bahu dari rusuk dengan memotong tegak lurus melalui vertebral column dan otot-otot intercostals atau antara rusuk ke-5 dan ke-6. Pisahkan rusuk dari dada belakang dengan membuat potongan dari anterior ke posterior. Pisahkan bahu dari dada depan dengan memotong tegak lurus rusuk ke-5, kira-kira arah proksimal terhadap tulang siku (olecranon). Paha depan juga dapat dipisahkan (Soeparno, 1992).
Cara pemotongan primal karkas seperempat belakang diawali dengan memisahkan ekses lemak dekat pubis dan bagian posterior otot abdomianal. Pisahkan flank dengan memotong dari ujung distal tensor fascialata, anterior dari rectus femoris ke arah rusuk ke-13 (kira-kira 20 cm dari vertebral column). Pisahkan bagian paha dari paha atas dengan memotong melalui bagian distal terhadap ichium kira-kira berjarak 1 cm, sampai bagian kepala dari femur. Pisahkan paha atas dari sirloin dengan potongan melewati antara vertebral sacral ke-4 dan ke-5 dan berakhir pada bagian ventral terhadap acetabulum pelvis. Sirloin dipisahkan dari shortloin dengan suatu potongan tegak lurus terhadap vertebral column dan melalui vertebral lumbar antara lumbar ke-5 dan ke-6 (Soeparnpo, 1992).
Gambar 5. Potongan primal karkas sapi (National Live Stock and Meat Board,1973 yang disitasi oleh Soeparno, 1992)
Gambar 6. Potongan daging sapi sistem Amerika Serikat
D. Penilaian Karkas Sapi
Penetapan peringkat karkas sapi ditetapkan berdasarkan pada kualitas dan palatabilitas daging dan jumlah atau hasil potongan-potongan dagingnya (Blakely dan Bade, 1992). Peringkat kualitas karkas menurut USDA terdiri dari Prime, Choice, Good, Standart, Commercial, Utility dan Cutter. Penilaian karkas menurut USDA juga bisa didasarkan pada nilai perdagingan karkas (Yield grade) dengan nilai 1 sampai 5 (Smith et al., 1978).
Penilaian karkas menurut USDA (United State Departement of Agriculture) didasarkan pada:
Kualitas karkas (carcass quality) dengan melihat kedewasaan ternak (umur ketika dipotong), susunan daging, tekstur daging dan perlemakan marbling.
Potongan-potongan daging (cutability) dengan melihat berat karkas, luas area ribeye, jumlah persentase lemak internal dan ketebalan lemak eksternal (Smith et al., 1978).
Kedewasaan ternak diukur berdasarkan bentuk dan proses penulangan serta warna dan tekstur daging tak berlemak. Perlemakan dengan melihat penyebaran lemak di dalam otot pada lokasi antara tulang rusuk ke-12 dan ke-13. Tekstur dan warna daging tidak berlemak juga ditentukan nilainya pada tulang rusuk ke-12 dan ke-13 (Blakely dan Bade, 1992). Penentuan warna daging, kekerasan daging, tekstur daging, jumlah marbling, distribusi marbling dan tektur marbling dengan menggunakan angka skor 1 sampai 8 dengan keterangan tertentu (Smith et al., 1978).
Berat karkas ditentukan dengan menimbang berat karkas segar atau karkas beku yang dikalikan 102%. Ketebalan lemak eksternal diukur dengan melihat ketebalan lemak pada daging ribeye (Gambar 17). Luas area ribeye dengan mengukur luas penampang daging pada ribeye dengan menempelkan pada plastik dengan skala kotak-kotam 0,1 inci (Gambar 8). Presentase lemak internal dengan melihat jumlah lemak ginjal, pelvis dan jantung pada berat karkas segar dikalikan 100% (Smith et al., 1978).
Nilai perdagingan karkas (Yield grade) dihitung dengan menggunakan persamaan menurut USDA, yaitu: 2,50 + (2,50 x tebal lemak punggung dalam inci) + (0,20 x % lemak internal) + (0,0038 x berat karkas dalam lbs) – (0,32 x luas area LD atau ribeye dalam inci2). Hasil perhitungan dibulatkan ke bawah, misal 1,69 dibulatkan menjadi 1,0, nilai tersebut menunjukkan peringkat Yield grade (Swatland, 1984)
Gambar 7. Pengukuran ketebalan lemak eksternal (Smith et al., 1978)
Gambar 8. Pengukuran luas area ribeye (Smith et al., 1978)
E. SNI Daging Sapi
Karkas sapi Cow carcasses SNI 01-3932 -1995
Daging sapi/kerbau Beef SNI 01-3947 -1995
Bakso daging SNI 01-3818 -1995
Sosis daging SNI 01-3820 -1995Dendeng sapi SNI 01-2908 -1992Keripik paru sapi SNI 01-4280 -1996Persyaratan sapi potong SNI 01-3523 -1994Standar daging sapi / kerbau SNI 01-3947 -1995Kulit sapi mentah kering SNI 06-0206 -1987(Anonim, 2006).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian di atas sebagai berikut:
1.Rumah Potong Hewan adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan disain tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan selain unggas bagi konsumsi masyarakat luas.
2.Disain dan konstruksi bangunan RPH harus memenuhi persyaratatan teknis dan hygiene.
3.Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6159-1999 tentang Rumah Pemotongan Hewan berisi beberapa persyaratan yang berkaitan dengan RPH termasuk persyaratan lokasi, sarana, bangunan dan tata letak.
4.Teknik pemotongan pada sapi meliputi pengistirahatan ternak, prosessing karkas sapi, dan penentuan potongan pada karkas sapi.
5.Karkas sapi Cow carcasses SNI 01-3932 -1995
Daging sapi/kerbau Beef SNI 01-3947 -1995
19
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2006. Standar Naasional Indonesia Sub Sektor Peternakan. http://www.mailarchive.com/agromania@yahoogroups.com/info.html.Diakses pada tanggal 07 Oktober 2009, pada pukul 11.03 WIB.
Anonim, 2009. Rumah Potong Hewan Bagi Kesehatan Masyarakat. http://www.timorexpress.com/index.php. Diakses pada tanggal 07 Oktober 2009, pada pukul 11.03 WIB.
Blakely, J. and D. H. Bade, 1992. The Science of Animal Husbandry. Penterjemah: B. Srigandono. Cet. ke-2. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Koswara, O., 1988. Persyaratan Rumah Pemotongan Hewan dan Veterinary Hygine Untuk Eksport Produk-produk Peternakan. Makalah Seminar Ternak Potong, Jakarta.
Lestari, P.T.B.A., 1994. Rancang Bangun Rumah Potong Hewan di Indonesia. P. T. Bina Aneka Lestari, Jakarta.
Manual Kesmavet, 1993. Pedoman Pembinaan Kesmavet. Direktorat Bina Kesehatan Hewan Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.
Nuhriawangsa, A. M. P., 1999. Pengantar Ilmu Ternak dalam Pandangan Islam: Suatu Tinjauan tentang Fiqih Ternak. Program Studi Produksi Ternak, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Smith, G. C., G. T. King dan Z. L. Carpenter, 1978. Laboratory Manual for Meat Science. 2nd ed. American Press, Boston, Massachusetts.
Soeparno, 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan ke‑1. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Swatland, H. J., 1984. Structure and Development of Meat Animals. Prentice-Hall Inc., Englewood Cliffs, New Jersey.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
maaf gambar RPH tidak tercantumkan, silahkan apabla btuh file ini, hub aja email septina.fitriyani@gmail.com
BalasHapusboleh ya mbak gambar rph nya, thnks ya.
Hapusarjun.gvary@gmail.com
boleh ya mbak minta gambar rph nya, terima kasih.. Tolong dikirim ke akmalyudhawiredja@gmail.com
HapusWah kok gak ada gambarnya ya..
BalasHapushehehe
BalasHapusmaksih mbak :)
kebantu deh, tugas laporanku hehe
bagus unt referensi,trmks,mohn ijin bookmark ya...
BalasHapusterima kasih atas informasinya, oh y kalau saya ingin melihat gambarnya di mana y?
BalasHapusmba ada tdk,,?? perbedaan teknik pemotongan sapi d RPH pemerintah & swasta. sehingga akan menghasilkan berat potong, persentase karkas dan non karkas.
BalasHapusterimakasih atas informasinya.........
BalasHapus